“Bagi cacing dalam lobak, dunia hanya sebatas lobak”
- - Malcom Gladwell dalam “What the Dog Saw”-
Jalanan berbatu dan menanjak itu menggoyangkan mobi Avanza
yang kami tumpangi. Dari kaca mobil sebelah kanan, saya bisa melihat sebuah
lembah dan sebuah bukit yang ditumbuhi dengan tanaman jagung yang menguning,
serupa sekali dengan padang rumput yang menjadi salah satu desktop background Windows
XP.
“Eh Tika liat itu geura ada window sepen” Irfan menunjuk-nujuk sebuah hamparan kebun
jagung yang ada di pelupuk mata kami. Oh sungguh matahari yang baru naik
sepenggalah sungguh menambah indah pemandangan itu, mengurungkan niat saya merevisi
kalimat Irfan tadi pada bagian lebih tepat diucapkan “seven”.
“Kalo udah nyampe sini bentar lagi nyampe” Irfan menambahkan.
Pagi itu kami sedang menuju sebuah Madrasah Ibtidaiyah di Arjasari,
Kabupaten Bandung yang kebetulan juga merupakan tempat dibesarkannya Irfan
Ramdani, kawan yang saya kenal dari aktivitas kami di Masjid Salman. Bagi
Irfan, training kali ini cukup spesial. Bagaimana tidak, training ini
dilaksanakan di sekolah yang namanya pernah menempel di badge lengan kanan
seragamnya bertahun-tahun . Nama sekolah
itu adalah MI Al-Huda. Beberapa menit kemudian kami tiba di sekolah itu yang
secara mengejutkan ternyata jaraknya hanya beberapa meter dari Rumah Irfan,
beberapa meter dari MTs Al-Huda, dan beberapa meter dari SMA Al-Huda. Dengan
demikian dapat dengan mudah kita tebak jika Irfan dan teman-temannya mengadakan
perpisahan di MI Al-Huda 2 minggu kemudian mereka akan mengalami reuni di MTs
Al-Huda. Hal yang sama terjadi juga di SMA Al-Huda ketika mereka menerima
sebagian besar lulusan MTS Al-Huda.
Hei teman, di depan sekolah itu sudah menunggu sesosok pria
berkulit gelap dengan rambut hitam belah pinggir. Pria berbatik ungu itu
menyapa kami dengan sangat ramah selayaknya orang Sunda pada umumnya dengan
Basa Sunda yang halus. Belakangan kami tahu dia adalah kakak ipar Irfan.
Infrastruktur sekolah itu cukup bagus, lebih bagus dari perkiraan saya
sebelumnya. Fasilitas yang ada tidak jauh berbeda dari sekolah-sekolah swasta
kebanyakan di Bandung. Hanya saja saya tidak melihat laboratorium di sekolah
itu. Ruang kelasnya berukuran relatif lebih kecil dengan kapasitas mungkin
sekitar 20 orang siswa per kelasnya .
Di ruangan tempat kami melakukan workshop ada secarik kertas
berbendera korea yang menempel di tembok dekat papan tulis. Isinya adalah
lowongan pekerjaan menjadi buruh pabrik di Korea. Pendapatannya cukup
menjanjikan, sekitar 800-1000 USD. Cukup
dengan modal ijazah SMA, paspor, dan uang 5 juta rupiah. Sepanjang perjalanan
kami ke sini, sejak dari Banjaran sudah banyak pabrik-pabrik berdiri di wilayah
ini. Selepas SMA mungkin banyak diantara anak-anak di sini yang menjadi buruh
pabrik-pabrik itu. Bahkan ada sebuah pabrik tekstil besar di sana yang jadi
kebanggan jika seseorang di sana menjadi pegawainya. Hei teman, bukannya
seharusnya yang tergantung di sana adalah ucapan selamat ujian dari
universitas-universitas swasta, brosur-brosur pameran pendidikan ke luar
negeri, atau apalah itu. Tapi buat
apalah semua itu jika pada akhirnya sebagian besar diantaranya hanya
bercita-cita jadi pegawai pabrik tekstil. Bagi cacing yang hidup dalam lobak,
dunia hanya sebatas lobak.
Hei teman, teman saya Irfan Ramdani jelas punya banyak
keberuntungan dari sekian banyak orang yang tinggal di sana. Meski Irfan kurang
lebih “terkurung” di sana selama 18 tahun Dia punya
pilihan hidup yang mungkin berbeda dari orang di sana. Pergi kuliah ke UPI,
jadi Aktivis Salman, bertemu banyak orang dari latar belakang berbeda. Menembus
batas –batas yang tidak dilewati
orang-orang di sana. Melihat dunia dari tempat yang lebih tinggi memang
menghasilkan jarak pandang yang semakin jauh.
Hei teman, lantas saya berpikir, jangan-jangan saya sendiri masih
seperti cacing yang hidup dalam lobak. Bagi saya mungkin dunia hanya sebatas
lobak, dengan skala yang lebih besar tentunya.
Hei teman, padahal salah
satu penulis favorit saya selalu menyarankan ini, jika kalian masih muda, punya
banyak waktu luang, tidak memiliki terlalu banyak keterbatasan, maka
berkelilinglah melihat dunia. Bawa satu ransel di pundak, berpindah-pindah dari
satu kota ke kota lain, dari satu desa ke desa lain, dari satu lembah ke lembah
lain, pantai, gunung, hutan, padang rumput, dan sebagainya. Menyatu dengan
kebiasaan setempat, naik turun angkutan umum, menumpang menginap di rumah-rumah, selasar masjid,
penginapan murah meriah, nongkrong di pasar, ngobrol dengan banyak orang,
menikmati setiap detik proses tersebut.
Maka, semoga, pemahaman yang lebih bernilai dibanding pendidikan formal akan datang. Dunia ini bukan sekadar duduk di depan laptop atau HP, lantas terkoneksi dengan jaringan sosial yang sebenarnya semu. Bertemu dengan banyak orang, kebiasaan, akan membuka simpul pengertian yang lebih besar. Karena sejatinya, kebahagiaan, pemahaman, prinsip-prinsip hidup itu ada di dalam hati. Kita lah yang tahu persis apakah kita nyaman, tenteram dengan semua itu. Nah, kalau kalian punya keterbatasan, lakukanlah dalam skala kecil, jarak lebih dekat, dengan pertimbangan keamanan lebih prioritas. Itu sama saja. Lihatlah dunia, pergilah berpetualang, perintah itu ada dalam setiap ajaran luhur.
Maka, semoga, pemahaman yang lebih bernilai dibanding pendidikan formal akan datang. Dunia ini bukan sekadar duduk di depan laptop atau HP, lantas terkoneksi dengan jaringan sosial yang sebenarnya semu. Bertemu dengan banyak orang, kebiasaan, akan membuka simpul pengertian yang lebih besar. Karena sejatinya, kebahagiaan, pemahaman, prinsip-prinsip hidup itu ada di dalam hati. Kita lah yang tahu persis apakah kita nyaman, tenteram dengan semua itu. Nah, kalau kalian punya keterbatasan, lakukanlah dalam skala kecil, jarak lebih dekat, dengan pertimbangan keamanan lebih prioritas. Itu sama saja. Lihatlah dunia, pergilah berpetualang, perintah itu ada dalam setiap ajaran luhur.
Hei teman, masih banyak
tempat di luar sana yang menunggu untuk dijelajahi, masih banyak pengetahuan di
luar sana yang tak sabar untuk kita jamah, masih banyak pengalaman di luar sana
yang siap jadi guru kita.
Mari keluar dari lobak!
Mari keluar dari lobak!
Keterangan:
Irfan dalam cerita ini merujuk
pada Irfan Ramdani mahasiswa UPI angkatan 2008, anak PAS, juga koordinator SEF
di LPP Salman.
Tika dalam cerita ini
merujuk pada Dewi sartika mahasiswa jurusan Fisika ITB angkatan hmm maaf
sepertinya saya tidak diijinkan menyebutkannya di sini. Pernah daftar Gamais,
pernah ikut kegiatan MAIFI, saat ini juga aktif di LPP Salman.
Beberapa fakta di cerita ini bisa saja salah karena hanya berdasarkan cerita ringan Irfan selama di perjalanan.
Beberapa fakta di cerita ini bisa saja salah karena hanya berdasarkan cerita ringan Irfan selama di perjalanan.