Senin, 28 Mei 2012

Cacing Dalam Lobak


“Bagi cacing dalam lobak, dunia hanya sebatas lobak”
-         - Malcom Gladwell  dalam “What the Dog Saw”-

Jalanan berbatu dan menanjak itu menggoyangkan mobi Avanza yang kami tumpangi. Dari kaca mobil sebelah kanan, saya bisa melihat sebuah lembah dan sebuah bukit yang ditumbuhi dengan tanaman jagung yang menguning, serupa sekali dengan padang rumput yang menjadi salah satu desktop background Windows XP. 

“Eh Tika liat itu geura ada window sepen”  Irfan menunjuk-nujuk sebuah hamparan kebun jagung yang ada di pelupuk mata kami. Oh sungguh matahari yang baru naik sepenggalah sungguh menambah indah pemandangan itu, mengurungkan niat saya merevisi kalimat Irfan tadi pada bagian lebih tepat diucapkan “seven”.

“Kalo udah nyampe sini bentar lagi nyampe”  Irfan menambahkan.
Pagi itu kami sedang menuju sebuah Madrasah Ibtidaiyah di Arjasari, Kabupaten Bandung yang kebetulan juga merupakan tempat dibesarkannya Irfan Ramdani, kawan yang saya kenal dari aktivitas kami di Masjid Salman. Bagi Irfan, training kali ini cukup spesial. Bagaimana tidak, training ini dilaksanakan di sekolah yang namanya pernah menempel di badge lengan kanan seragamnya bertahun-tahun .  Nama sekolah itu adalah MI Al-Huda. Beberapa menit kemudian kami tiba di sekolah itu yang secara mengejutkan ternyata jaraknya hanya beberapa meter dari Rumah Irfan, beberapa meter dari MTs Al-Huda, dan beberapa meter dari SMA Al-Huda. Dengan demikian dapat dengan mudah kita tebak jika Irfan dan teman-temannya mengadakan perpisahan di MI Al-Huda 2 minggu kemudian mereka akan mengalami reuni di MTs Al-Huda. Hal yang sama terjadi juga di SMA Al-Huda ketika mereka menerima sebagian besar lulusan MTS Al-Huda.

Hei teman, di depan sekolah itu sudah menunggu sesosok pria berkulit gelap dengan rambut hitam belah pinggir. Pria berbatik ungu itu menyapa kami dengan sangat ramah selayaknya orang Sunda pada umumnya dengan Basa Sunda yang halus. Belakangan kami tahu dia adalah kakak ipar Irfan. Infrastruktur sekolah itu cukup bagus, lebih bagus dari perkiraan saya sebelumnya. Fasilitas yang ada tidak jauh berbeda dari sekolah-sekolah swasta kebanyakan di Bandung. Hanya saja saya tidak melihat laboratorium di sekolah itu. Ruang kelasnya berukuran relatif lebih kecil dengan kapasitas mungkin sekitar 20 orang siswa per kelasnya .
Di ruangan tempat kami melakukan workshop ada secarik kertas berbendera korea yang menempel di tembok dekat papan tulis. Isinya adalah lowongan pekerjaan menjadi buruh pabrik di Korea. Pendapatannya cukup menjanjikan, sekitar  800-1000 USD. Cukup dengan modal ijazah SMA, paspor, dan uang 5 juta rupiah. Sepanjang perjalanan kami ke sini, sejak dari Banjaran sudah banyak pabrik-pabrik berdiri di wilayah ini. Selepas SMA mungkin banyak diantara anak-anak di sini yang menjadi buruh pabrik-pabrik itu. Bahkan ada sebuah pabrik tekstil besar di sana yang jadi kebanggan jika seseorang di sana menjadi pegawainya. Hei teman, bukannya seharusnya yang tergantung di sana adalah ucapan selamat ujian dari universitas-universitas swasta, brosur-brosur pameran pendidikan ke luar negeri,  atau apalah itu. Tapi buat apalah semua itu jika pada akhirnya sebagian besar diantaranya hanya bercita-cita jadi pegawai pabrik tekstil. Bagi cacing yang hidup dalam lobak, dunia hanya sebatas lobak.

Hei teman, teman saya Irfan Ramdani jelas punya banyak keberuntungan dari sekian banyak orang yang tinggal di sana. Meski Irfan kurang lebih “terkurung” di sana selama 18 tahun   Dia punya pilihan hidup yang mungkin berbeda dari orang di sana. Pergi kuliah ke UPI, jadi Aktivis Salman, bertemu banyak orang dari latar belakang berbeda. Menembus batas –batas  yang tidak dilewati orang-orang di sana. Melihat dunia dari tempat yang lebih tinggi memang menghasilkan jarak pandang yang semakin jauh.
Hei teman, lantas saya berpikir, jangan-jangan saya sendiri masih seperti cacing yang hidup dalam lobak. Bagi saya mungkin dunia hanya sebatas lobak, dengan skala yang lebih besar tentunya.

Hei teman, padahal salah satu penulis favorit saya selalu menyarankan ini, jika kalian masih muda, punya banyak waktu luang, tidak memiliki terlalu banyak keterbatasan, maka berkelilinglah melihat dunia. Bawa satu ransel di pundak, berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, dari satu desa ke desa lain, dari satu lembah ke lembah lain, pantai, gunung, hutan, padang rumput, dan sebagainya. Menyatu dengan kebiasaan setempat, naik turun angkutan umum, menumpang menginap di rumah-rumah, selasar masjid, penginapan murah meriah, nongkrong di pasar, ngobrol dengan banyak orang, menikmati setiap detik proses tersebut. 

Maka, semoga, pemahaman yang lebih bernilai dibanding pendidikan formal akan datang. Dunia ini bukan sekadar duduk di depan laptop atau HP, lantas terkoneksi dengan jaringan sosial yang sebenarnya semu. Bertemu dengan banyak orang, kebiasaan, akan membuka simpul pengertian yang lebih besar. Karena sejatinya, kebahagiaan, pemahaman, prinsip-prinsip hidup itu ada di dalam hati. Kita lah yang tahu persis apakah kita nyaman, tenteram dengan semua itu. Nah, kalau kalian punya keterbatasan, lakukanlah dalam skala kecil, jarak lebih dekat, dengan pertimbangan keamanan lebih prioritas. Itu sama saja. Lihatlah dunia, pergilah berpetualang, perintah itu ada dalam setiap ajaran luhur.

Hei teman, masih banyak tempat di luar sana yang menunggu untuk dijelajahi, masih banyak pengetahuan di luar sana yang tak sabar untuk kita jamah, masih banyak pengalaman di luar sana yang siap jadi guru kita. 

Mari keluar dari lobak!

Keterangan:
Irfan dalam cerita ini merujuk pada Irfan Ramdani mahasiswa UPI angkatan 2008, anak PAS, juga koordinator SEF di LPP Salman.
Tika dalam cerita ini merujuk pada Dewi sartika mahasiswa jurusan Fisika ITB angkatan hmm maaf sepertinya saya tidak diijinkan menyebutkannya di sini. Pernah daftar Gamais, pernah ikut kegiatan MAIFI, saat ini juga aktif di LPP Salman.
Beberapa fakta di cerita ini bisa saja salah karena hanya berdasarkan cerita ringan Irfan selama di perjalanan.

Minggu, 25 Desember 2011

Pilihan


Juni 2002, waktu itu penerimaan siswa baru dari tingkat sekolah dasar ke sekolah menengah pertama melalui mekanisme testing. Semacam tes yang diadakan tiap sekolah sebagai seleksi penerimaan siswa baru. Pilihan saya hanya  SMP Negeri 3 Bandung dan SMP Negeri 1 Margahayu. Sejak sebulan sebelum tes itu dimulai, Ibu, Bapa, Nenek, dan saudara-saudara saya selalu bertanya ke mana saya akan melanjutkan sekolah. Jawabannya tetap dua smp itu. Seminggu sebelum hasil tes diumumkan keluarga saya selalu bertanya jika  saya diterima kedua sekolah itu, mana yang akan saya pilih. Saat itu di mana saya belum mengenal istilah shalat istikharah, untuk menentukan ke mana saya akan melanjutkan sekolah, saya mengatakan akan melakukan undian dengan memasukkan 10 potongan kertas dalam sebuah kotak di mana 9 kertas berisi tulisan “SMP Negeri 1 Margahayu”.   

Seminggu berselang saya dinyatakan lulus tes di kedua sekolah itu dan saya baru memutuskan akan melanjutkan ke sekolah mana beberapa jam sebelum pendaftaran ulang ditutup.

Dan saya akhirnya bersekolah di SMP Negeri 3 Bandung (2002-2005).

 

Undian itu tak pernah saya selesaikan sepenuhnya, di saat saya akan mengambil potongan kertas. Saat tangan saya bergerak memilah-milah potongan kertas. Pada momen itu, saya tahu apa yang sebenarnya saya inginkan.